Usai kencing, pemuda Badui beranjak ingin pergi. Rasul menghampirinya dan member pengertian padanya, bahwa tempat itu adalah tempat ibadah yang suci dan harus dipelihara kebersihannya. Selanjutnya, pemuda itu dibiarkan pergi oleh Rasulullah. Smentara Rasul memerintahkan sahabatnya untuk menyiram kencing itu dengan air.
Paling tidak ada tiga alasan Rasul mellarang para sahabat mengusir orang badui itu. Pertama, bila pemuda itu lari tergopoh-gopoh sebelum ia menyelesaikan hajatnya, berarti ia akan lebih banyak lagi wilayah masjid yang terkena kencingnya. Kedua, Rasul merasakan, bagaimana menderitanya seseorang yang tiba-tiba harus berhenti saat “buang air”. Ketiga, teguran atau hardikan tidak pantas disampaikan pada orang Badui tersebut. Lantaran memang ia tidak mengetahui bahwa tempat itu harus terpelihara kebersihannya. Karenanya, yang aling tepat adalah memberitahu duduk masalahnya. Itulah contoh empati Rasullah saw. Empati yang bijaksana, tapi bukan berarti mentolerir penyimpangan. Rasul tetap menuntut perubahan dari kekeliruan yang dilakukan orang Badui tersebut.
Empati memang tidak boleh diartikan tolerir terhadap kesalahan orang lain tanpa tuntutan perubahan. Empati tidak bias disamakan dengan sikap diam dengan dalih berusaha memahami kekeliruan yang terjadi. Empati juga tidak bias dimaknai harus setuju denga orang lain, dan selalu member pemahaman atas kebiasaan dan perasaan yang keliru. Memahami perasaan dan menerima kebiasaan orang lain, tidak berarti seseorang kehilangan sikap kritis untuk memperbaiki.
Ini perlu dicermati, sebab empati yang berlebihan bisa saja jatuh pada sikap sungkan dan enggan menegur. Ibnul Qayyim pernah menyinggung fenomena ini dalam perkataannya, “Dampak negatif ukhuwah yang tidak pada tempatnya adalah seseorang enggan dan sungkan menegur kekeliruan saudaranya”.
Rasullah saw menegaskan keseimbangan antara keharusan bersikap empati pada orang lain tanpa mengabaikan upaya perbaikan. “Alangkah buruknya keadaan suatu kaum yang tidak memperhatikan tetangganya, tidak mengajari, tidak menasehati, tidak memrintah pada kebaikan dan melarang (dari keburukan) mereka. Alangkah buruknya keadaan suatu kaum yang tidak mau belajar dari tetangganya, tidak mau menimba ilmu, dan tidak mau mengambil nasihat…” (HR Thabrani)
Menyampaikan teguran tidak harus kehilangan makna empati. Caranya, tentu dengan memenuhi pertimbangan soal waktu, suasana, bahasa, dan cara penyampaiannya. Misalnya, sampaikan teguran dalam pola dialog, libatkan emosi dalam menyampaikan nasihat, dudukkan masalah secara objektif.
Yang jelas, Abu Darda berpesan, “BIla saudaramu berubah dari apa yang engkau ketahui sebelumnya, jangan tinggalkan dia karena itu, karena sesungguhnya saudaramu itu sesekali bengkok, sesekali lurus.” (Ihya Ulumuddin, 2/182)
Sumber : Tarbawi
Download artikel ini dalam bentuk pdf
0 Response to "Empati Bukan Toleransi Tanpa Batas"
Posting Komentar